Catatan mengenai kuliah umum Professor Keyu Jin berjudul:
Techno-nationalism and Technology Competition
Akhirnya saya punya waktu luang untuk menonton kuliah umum yang dibawakan oleh Profesor Keyu Jin from LSE. Beliau bercerita tentang tekno-nasionalisme dan mendiskusikan tentang apakah hal tersebut baik atau tidak. Diskusi ia mulai dengan menjelaskan perbedaan antara tech giants dengan manufaktur konvensional pada umumnya.
Menurut beliau, jasa teknologi tinggi semacam GAFAM1 ( ) punya kurva biaya yang berbeda. Bagi mereka, begitu sebuah produk selesai dikembangkan, marginal cost untuk menjual satu barang tambahan adalah hampir nol. Mereka tidak perlu bikin barang fisik, tinggal kopas aja, kasih product key atau password aja. Begitu produk selesai dibuat (misalnya netflix barusan beres bikin satu filem), biaya distribusi ke 100 ataupun 10.000 orang itu sama aja.
Sudah begitu, sebagian besar jasa teknologi memiliki ciri increasing returns to scale gara-gara apa yang disebut network effect. Anda memakai karena banyak orang memakai . Raksasa teknologi juga dapat menggunakan data-data penggunanya untuk meningkatkan kekuatan penjelasan dari algoritma mereka dan menghasilkan layanan yang lebih baik.
Network effect bahkan dapat membantu tech giants untuk merambah ke bisnis berbeda dan meningkatkan scope produksi mereka. Ambil contoh Go-Jek memulai dari “biro jodoh” tukang ojek dengan calon penumpang. Sekarang mereka bisa bikin bank karena ia punya informasi yang sangat berharga bagi sektor finansial: pola konsumsi. Untuk tukang ojeg full-time, bahkan mereka tau berapa uang yang dihasilkan tukang ojeg per bulan, sesuatu yang sangat berharga bagi pasar kredit.
Network effect ditambah dengan zero marginal cost memiliki implikasi serius: besar itu baik. Ini bertentangan dengan hukum anti-monopoli di mana perusahaan besar yang mendominasi pasar berpotensi merugikan konsumen. Dalam kasus ini, justru yang besar malah memberikan efisiensi bagi konsumen, di mana konsumen mendapat layanan terbaik dengan harga yang terjangkau, bahkan nyaris gratis di beberapa jasa.
Salah satu pengecualian adalah apa yang Prof. Keyu Jin sebut dengan local externalities. Salah satu alasan Go-Jek bisa mengusir Uber adalah karena uber malas berinvestasi pada pembayaran. Di Amerika Serikat, Super app tidak terjadi karena proses pembayaran melalui kartu kredit sudah sangat stabil dan hampir semua konsumen di sana menggunakannya untuk bertransaksi. Hal ini tidak terjadi di RRT, di mana banyak sekali penduduk yang tidak memiliki akses ke sektor finansial dan masih mengandalkan uang cash. Mirip seperti di Indonesia ya? Uber sudah terlalu nyaman pakai pembayaran kartu kredit, sehingga di Indonesia ia terlempar oleh Go-Jek yang mengembangkan Go-Pay.
Hal-hal berbau lokal ini memberikan sedikit kelebihan bagi perusahaan lokal untuk menantang GAFAM dan teman-temannya. Netflix mungkin tidak akan besar apabila banyak masyarakat Indonesia yang lebih menyukai tayangan FTV ataupun influenser sepert a Raffi Ahmad. Spotify bisa kalah oleh dangdut jika mereka hanya menjual lagu-lagu orang bule. Go-Jek mungkin adalah calon super app yang lahir karena kekuatan lokal, sesuatu yang kurang dieksploitasi oleh pemain global. Hal ini membuat “besar itu baik” dapat sedikit dilawan.
Hal kedua yang dapat mendelegitimasi “besar itu baik” menurut prof. Keyu adalah mengenai trust. Seberapa percaya anda bahwa data anda dipegang oleh perusahaan swasta asing? Jika big tech pemain global didominasi oleh perusahaan AS dan RRT, yang mana yang akan anda lebih percaya untuk mengontrol data anda? Apalagi untuk negara kecil yang bisa saja power nya kalah besar dibandingkan perusahaan asing besar-besar ini. Hal ini berpotensi memberikan insentif untuk melakukan tekno-nasionalisme karena akibat ketidak percayaan muncul insentif untuk bikin sendiri.
Ini full videonya jika anda tertarik.
-
bukan hardwarenya lho ya (iPhone, Google Pixel, Surface, Kindle), tapi jasa-nya. Ha ha ha. “semacam GAFAM” tentu saja termasuk netflix2an. ↩︎