April 25, 2025
Demokrasi, kebebasan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi adalah isu yang masih ramai diperdebatkan.
Hal ini semakin menarik minat orang Indonesia setelah:
Hadiah nobel ekonomi 2024 dimenangkan oleh Daron Acemoglu, James Robinson and Simon Johnson tentang peran institusi terhadap ekonomi.
Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, mengatakan bahwa ia membaca Why Nations Fail, buku yang cukup populer karya Acemoglu dkk.
Pertanyaan kenapa sebuah negara berhasil menjadi kaya sementara negara lain gagal adalah pertanyaan yang terus menghantui semua orang, termasuk ekonom.
Terakhir, Acemoglu dkk menawarkan penjelasan soal institusi.
Menurut Acemoglu dkk, syarat sebuah negara menjadi negara maju adalah memiliki institusi yang inklusif alih-alih yang eksklusif.
Pada dasarnya, inklusif artinya adalah memperbesar partisipasi banyak lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sebuah negara.
Sementara itu, institusi ekslkusif adalah institusi yang membatasi partisipasi lapisan masyarakat tertentu, sehingga hanya beberapa grup yang melakukan kontrol terhadap negara.
Menurut sintesis Rubin dan Koyama dan Acemoglu dkk, pembatasan terhadap kekuasaan negara merupakan alasan penting kenapa eropa berhasil menjadi negara maju.
Penguasa yang kebebasannya dibatasi biasanya lebih jarang ngemplang hutang sehingga bisa dapat bunga lebih rendah.
Penguasa yang dibatasi juga jadi punya keterbatasan untuk sembarangan deklarasi perang & tidak bisa asal membatasi inovasi.
Tidak seperti Perancis, negara-negara seperti Belanda, Belgia, dan Inggris memiliki berbagai institusi yang membatasi kekuasaan rajanya.
Sektor perbankan dan asosiasi industri dalam negerinya memiliki suara yang cukup kuat untuk membatasi kekuasaan raja.
Inilah kenapa pada masa kolonialisme, Perancis kalah dari Spanyol, Portugis dan Inggris.
Kolonialisme adalah salah satu contoh institusi yang eksklusif dan ekstraktif:
Parahnya, ketika suatu negara sudah merdeka, umumnya kaum elit di negara tersebut malah meneruskan institusi buatan penjajah.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya “trust” antar kaum di negara tersebut.
Demokrasi adalah salah satu contoh mendorong partisipasi dalam membuat keputusan.
Dewasa ini, kekuasaan seorang Presiden/Perdana Menteri dibatasi oleh parlemennya, dengan derajat yang berbeda-beda.
Tidak hanya itu, kekuasaan negara juga dibatasi oleh institusi hukum, diawasi oleh auditor dan pers, serta dikritik oleh lapisan masyarakat termasuk akademisi.
Karena itu, kebebasan institusi-institusi ini harus terus dijaga.
Namun, demokrasi berarti perlunya proses diskusi yang panjang, karena benturan kepentingan berbagai kaum yang berpartisipasi akan semakin kompleks.
Karena itu demokrasi membutuhkan level trust antar-peserta yang tinggi1.
Misalnya, kritik seorang akademisi soal program pemerintah harus disikapi sebagai kritik membangun. Menuduh kritikus sebagai antek asing, misalnya, menandakan level trust yang rendah.
Jika kita dikritik, kita harus yakin kritik tersebut BUKAN serangan personal, tapi memang demi negara yang lebih baik.
Dengan kata lain, institusi inklusif memiliki peran sentral setidaknya dua:
Mencegah keputusan dari the powerful untuk merugikan peserta.
Mendorong alternatif dari peserta untuk mencapai win-win.
The Powerful is not perfect. Mereka bisa saja membuat keputusan yang dapat merugikan anda atau keputusan yang tidak dipikirkan dengan matang.
Karena itu, perdebatan in good faith adalah fitur dari institusi inklusif.
kritik terhadap ide ≠ kritik terhadap pencetus ide.
Penawaran dari economic historian seperti Rubin, Koyama, Acemoglu dan lainnya adalah ide bahwa institusi yang inklusif adalah pencipta pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, perdebatan tentang arah sebab-akibat masih terjadi sampai saat ini.
Yang jelas, korelasi economic freedom dengan GDP per capita cukup terlihat.
The Economic Freedom Index dikelola oleh The Heritage Foundation, sebuah organisasi konservatif di Amerika Serikat.
Mereka sangat pro terhadap small government. Bagi mereka, pemerintah yang terlalu besar cuma akan memperlambat para pelaku ekonomi dan pebisnis.
the goal of economic freedom is more than the absence of government coercion or constraint: The ultimate goal is creation and maintenance of a mutual sense of liberty for all. Some government action is necessary for the citizens of a nation to defend themselves and promote the peaceful evolution of civil society, but government action that goes beyond the minimal necessary level inevitably infringes on someone’s economic or personal freedom.
Indonesia memiliki Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)
IDI disusun pertama kali pada tahun 2009 dengan kolaborasi BPS dan Kemenkopolhukam, didukung oleh Bappenas, Kemendagri, dan UNDP.
Indeks ini dibuat by province. Ini contoh IDI di Jatim.
Terkadang, economic freedom merujuk pada kebebasan seseorang untuk melakukan aktivitas ekonomi, seperti membeli barang, menjual barang, dan mendirikan bisnis.
Misalnya, seberapa bebas kita membuka usaha di bidang migas, seberapa bebas kita menggaji orang, seberapa bebas kita memilih supplier, dan sebagainya.
Paradoxically, demokrasi mahal bisa jadi membatasi kebebasan ekonomi:
Di sinilah muncul kritik terhadap “limiting the leviathan”:
Remember our old friend “market failures”?
Negara kaya justru menjadi kaya karena negaranya kuat dan mampu melakukan koordinasi ekonomi lebih baik daripada pasar.
Setelah kaya baru deh kebutuhan akan demokrasi muncul.
Lihat karya-karya Ha-Joon Chang, Yuen Yuen Ang, Nathan Lane, Reka Juhasz.
Mana yang benar masih bisa diperdebatkan.
Mungkin ada di keseimbangan: terlalu bebas berpotensi terkena market failure, tapi terlalu terikat justru membuat ekonomi tidak efisien.
Tapi yang jelas, semakin besar peran “Leviathan”, semakin penting untuk memiliki “Leviathan” yang kompeten dan efisien.