ECES905205 pertemuan 8
I Made Krisna Gupta
10 Oktober 2022
Rata-rata=63.1875, max=83.7
Nomer 3 paling banyak benar (71.4%)
Nomer 4 paling banyak salah (58.43%)
Nilai akan di-rekalibrasi. Yang penting belajar dari hasil UTS ini.
Penjelasannya kurang fundamental. Contoh: Specific factor disebut short run tidak hanya krn ada immobile factor, tapi krn immobile factor tsb akan jadi mobile di long run.
Indifference curve di 2f.
Nulis terlalu banyak / nyalin slides.
0 attempts on some questions.
Sejauh ini kita sudah diskusi teori-teori di perdagangan internasional.
Teori di course ini sangat dasar. Prinsipnya sama tapi sekarang sudah makin berkembang.
Jika anda berniat thesis / PhD di international trade, anda harus ikuti teori yang lebih baru.
Ke depan: trade policies, Finance, industrial.
Hari ini, Kita akan eksplorasi argumen-argumen tentang pro dan kontra free trade.
Teori yang telah kita pelajari sejauh ini menunjukkan bahwa tariff memberikan distorsi:
dari sisi produksi, membuat less competitive firms jadi bisa produksi, meski mungkin aslinya lebih cocok memproduksi hal lain.
dari sisi konsumsi, membuat konsumen yang harusnya bisa konsumsi at the margin jadi tidak bisa.
jika konsumennya adalah industri lain, distorsinya jadi menular.
Argumen ini menitik-beratkan ke efisiensi: selama ada DWL, maka tariff -> tidak efisien.
Kita diskusikan pre-UTS bahwa industri dengan fixed cost besar perlu economies of scale agar bisa murah.
meski monopolistik = produsen bisa atur harga (to a degree), tapi harga ini masih lebih murah daripada jika firmsnya banyak.
toh jika perusahaan-perusahaan ini ambil mark-up terlalu besar, pasti akan ada pemain baru yang masuk.
Pabrik kendaraan bermotor baru efisien jika produksi 80k - 200k mobil setahun. Tapi di Argentina 1964, ada 13 perusahaan untuk market for 166k cars saja!
Learning by exporting: firms akan belajar lebih banyak jika mereka terekspose dengan pasar global.
Productivity barrier: hanya firms paling efisien yang akan ekspor. Artinya, free trade juga membuat kita bisa mengakses produk-produk yang lebih baik dari produsen negara lain.
Beberapa penelitian mencoba melihat dampak trade \(\rightarrow\) productivity ini. Generally hasilnya positif meski magnitudenya bermacam-macam.
Untuk negara besar, tariff memberikan gain tambahan dari terms of trade.
seiring naiknya tariff, gain ini bisa jadi lebih besar daripada DWL-nya.
Tapi jika tariff naik terus, maka tariff akan jadi sangat restrictive sehingga DWL mendominasi
tarif optimum adalah level tarif yang memaksimalkan welfare suatu negara:
Limited example: export tax untuk OPEC countries.
Argumen market failure sebenarnya adalah argumen umum di ilmu ekonomi.
Contoh klasik adalah specific factor model di mana faktor produksi tidak bisa dengan mudah pindah industri.
Jika produk domestik diberi pigouvian tax karena externalities (carbon tax, misalnya), maka impor juga perlu dipajaki.
Perusahaan dalam negeri butuh waktu dan skala produksi untuk besar,
meski jangka pendek harga-harga jadi mahal, tapi jangka panjang harga akan turun jauh (dynamic efficiency)
Artinya, proteksi hanya dilakukan di jangka pendek saja.
Namun perlu dipertanyakan juga: apa yang membuat industri ini tidak efisien dalam jangka pendek?
Jika memang butuh modal awal, seharusnya perusahaan tetap bisa cari dana pinjaman.
Butuh inovasi / learning by doing.
subsidi produksi lebih baik ketimbang kebijakan perdagangan.
kalo ga ada duitnya?
Trade policies memiliki hidden cost: memang lebih hemat APBN, tapi masyarakat/konsumen yang jadi membayar harganya dengan DWL.
Kalau memang APBN cekak, ada baiknya gunakan bonds atau tax holiday untuk R&D activity.
Subsidi pupuk & benih vs larangan impor: kenapa sudah disubsidi masih kalah saing juga? Setidakefisien itukah?
Gimana kalau perusahaannya tidak besar-besar?
BUMN, industri otomotif, selalu dinurture sampai sekarang, tapi masih tetap kurang kompetitif.
Bagaimana kalau pasar internasional juga semakin efisien?
Bagaimana jika dynamic gain juga dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing?
Bahkan jika trade policy works: usually other policies could work even better.
Masyarakat tetap melihat perlunya hambatan perdagangan biasanya karena kurang cermat menghitung cost-benefit dengan baik.
Bagaimana melakukan kalkulasi market failure dengan benar?
Khususnya, bagaimana mendapatkan hidden cost dari pembatasan perdagangan?
Bagaimana memastikan bahwa industri yang diproteksi akan jadi besar? Sampai kapan?
Bisa jadi topik thesis!
Masyarakat biasanya kufur nikmat.
Masyarakat seringkali tidak merasa berorganisasi demi mendapatkan manfaat dari perdagangan (atau kebijakan lain) worth it.
Dengan kata lain, advokasi untuk perdagangan adalah public goods.
Sebaliknya, pihak yang dapat untuk dari proteksi biasanya sangat rajin berorganisasi.
Pihak yang untung ini biasanya lebih mampu dan mau untuk “mengubah dari dalam”
Sebuah negara dikatakan melakukan dumping ketika negara tersebut mengekspor produk dengan harga yang jauh lebih murah daripada produk yang dijual di negaranya sendiri.
Anti-Dumping (AD) adalah upaya mengenakan tarif untuk produk yang dicurigai sebagai hasil dumping.
Untuk klaim ada dumping, sebuah negara harus membuktikan adanya selisih antara harga jual domestik vs harga jual ekspor dari perusahaan di negara partner dagangnya.
Dumping dianggap merugikan karena predatory: tujuannya mematikan produsen lokal sehingga sebuah negara ketergantungan impor.
ketika sudah ketergantungan impor, maka perusahaan di negara partner akan menaikkan harga mereka.
Dynamic efficiency ini memberi ruang untuk intervensi berupa tarif.
Anti-dumping harus dilakukan oleh perusahaan yang besar, monopolist/oligopolist, dan kuat modal.
Dumping harus sustainable sampai produsennya beneran keluar.
Setelah produsen lokal exit dan harga mulai dinaikkan, produsen lokal harus kesulitan untuk masuk lagi.
Kasus AD Indonesia terakhir melibatkan AD duties untuk HRC alloys dari RRT. Lebih dari 16 perusahaan yang kena.
Price discrimination, praktik di mana perusahaan menjual dengan 2 harga berbeda di 2 pasar berbeda. Bisa saja di negara asalnya, firms menjual dengan agak mahal karena dia monopolistik, tetapi di pasar internasional kompetisinya lebih kuat sehingga harus menjual murah. Ini justru baik untuk pasar internasional.
Pasar sedang lesu dan inventory internasional terlalu banyak. Jika biaya penyimpanan tidak murah, lebih baik cepat-cepat dilepas meski rugi. In short term harusnya tidak terlalu merugikan produsen domestik.
ToT gain memungkinkan sebuah negara yang besar dapat untung dengan tarif.
Reaksi terbaik bagi negara partnernya, jika besar juga, adalah dengan retaliasi: memberi tariff untuk barang lain.
Ini adalah contoh klasik dari prisoner’s dilemma:
jika A free trade, B being protectionist will get ToT gain.
Tapi jika keduanya protectionist, keduanya lose out.
Bayangkan jika anda ada di posisi ekspor C dan impor F.
Tiba-tiba negara partner memberi tarif pada F, sehingga relatif price of F naik.
Negara anda jadi harus melakukan adjustment (produce F a bit more, C a bit less.)
Jika adjustmentnya tidak smooth, anda rugi. (Bayangkan jadi India yang tiba-tiba tidak bisa beli sawit.)
Inilah yang menjadi basis perlunya Free Trade Agreement.
Preferetial Trade Agreement: memberi preferensi tariff untuk sekelompok negara, tapi tidak yang lain.
Customs union: anggota CU tidak lagi perlu ada customs. Dagang antar negara = dagang antar provinsi.
Politically challenging, reduce bureaucratic cost (antar CU tidak perlu ada customs lagi).
single external tariffs.
What happens when a country exits a customs union?
Tadinya CU jadi bukan -> sudden \(\uparrow\) in trade cost (tariff and non-tariff)
Impor bahan baku & ekspor barang jadi juga sulit.
Invest di EU jadi menarik bagi UK biz.
uncertainty \(\uparrow\) : firms jadi takut invest di UK.
On the plus side(?): more control over its own regulations.