Realism vs pareto efficient outcome in economics

Realism vs pareto optimality

Sejak kejadian di Ukraina dan Palestina, saya makin sering ngikutin John Mearsheimer, seorang profesor di politik internasional. Beliau adalah seorang ‘realist’. Jadi di internasional politik tuh ada beberapa mahzab gitu, yg mana gw gak ngerti-ngerti banget ha ha ha. Tapi yang jelas, kata Pak John, ‘realism’ ini intinya adalah hal yang penting dalam hubungan antar-negara adalah relative power. Alias, yang penting adalah seberapa kuat negara kita dibanding negara tetangga. Hal ini muncul karena adanya keyakinan bahwa di atas negara, tidak ada institusi yang lebih tinggi yang akan melindunginya jika diserang oleh negara lain. Karena itu, negara kita harus lebih kuat dibanding yang lain.

Penekanannya di sini adalah ada di kata ‘relatif’. Dengan kata lain, gapapa kita ga terlalu kuat, asalkan yang lain tuh jauh lebih lemah daripada kita.

Hal ini jadi menarik bagi ekonom karena ilmu ekonomi arusutama (mainstream) itu biasanya diajarin di awal-awal soal Pareto Optimality. Pareto optimality ini intinya adalah sebuah hasil dari pertukaran/perdagangan/aktivitas ekonomi secara umum itu akan terjadi selama ada setidaknya 1 pihak yang dapat pendapatan lebih tanpa mengurangi pendapatan pihak lainnya. Hal ini muncul dari settingan model di mana sebuah entitas (bisa orang, bisa negara) itu beraktivitas hanya dengan memperhitungkan dirinya sendiri.

Hal ini menghasilkan argumen bahwa jika membiarkan setiap orang mengoptimalkan keputusannya berdasarkan kebahagian pribadi, maka hasil akhirnya adalah dunia yang lebih baik karena outcomenya sudah pasti pareto optimal, alias ga akan ada yang rugi tapi mungkin ada segelintir yang dapat ekstra income. Kalau misalnya ada 100 orang yang kita biarkan beraktivitas dengan mempertimbangkan dirinya sendiri, dan ada 50 orang yang pendapatannya naik sementara 50 lainnya tidak berkurang, maka total pendapatan 100 orang ini (alias PDB) akan naik.

Catat bahwa “mempertimbangkan dirinya sendiri” ini jelas berlawanan dengan “relatif” dalam mahzab realisme ala Professor Mersheimer. Mempertimbangkan diri sendiri nih berarti kan cuma mikirin apakah diri saya tambah kaya atau engga, bukan memikirkan apakah saya tambah kaya lebih banyak DARIPADA tetangga saya.

Contoh

Jadi nih misalnya anda dan tetangga anda sama-sama punya duit 10 juta. Tetangga anda nawarin proyek senilai 10 juta, di mana tetangga anda akan menyewa tenaga anda senilai 1 juta, sisanya buat tetangga anda sebagai yang nyari proyek. Jika anda setuju dengan transaksi ini, anda tambah kaya 1 juta, sementara tetangga anda tambah kayanya 9 juta. Anda ambil gak?

Mahzab “pareto optimality” bilang transaksi ini bagus-bagus aja karena anda tambah kaya 1 juta dibandingkan ketika anda tidak transaksi. Mahzab “realisme” akan bilang hal ini belum tentu baik, karena hal ini mengakibatkan anda jadi punya uang 11 juta, sementara tetangga anda punya uang 19 juta, nyaris 2x lebih kaya dari anda. Tadinya kekayaan kalian berdua sama, sekarang jadi beda. enak aja lu harus julid dong! Kita harus iri dengki dengan orang yang lebih kaya dari kita!

Hal ini bisa lebih jauh lagi kita elaborasi karena dalam mahzab pareto optimality, seseorang tidak akan mengambil keputusan yang merugikan dirinya sendiri. Tapi bagi realisme, seseorang bisa saja mengambil keputusan tersebut, asalkan tetangganya rugi lebih banyak daripada dia. Inilah alasan kenapa AS membatasi penjualan modal semikonduktor ke China. Tidak hanya kebijakan ini bikin AS keluar duit, AS-nya sendiri rugi karena AS sendiri menjual berbagai sumber daya buat dipake bikin semikonduktor, dan mereka sendiri beli barang-barang yang pake semikonduktor. Tapi gpp mereka rugi, asalkan China rugi lebih gede lagi!

Implikasi

Para ekonom memodelkan keputusan optimal seseorang berdasarkan utilitas. Pareto optimal bilang, utilitas seseorang hanya bergantung pada konsumsi pribadi, bukan konsumsi tetangganya. Tapi kata realism, kita harus peduli dengan konsumsi tetangga. Kenapa? Jawabannya adalah karena ada eksternalitas. Bagi realism, kalau tetangga kita tambah kaya 10 juta dan kita cuma tambah kaya 1 juta, nanti dia bisa beli senapan sementara kita cuma bisa beli golok. Karena itu, kita harus senantiasa waspada dan julid pada tetangga kita.

Kembali ke skenario tetangga julid, di tataran tetangga, skenario bahwa kita akan diinvasi oleh tetangga kita sangat kecil kemungkinannya terjadi. Hal ini karena ada entitas di atas pribadi yang akan melindungi kita jika tetangga berbuat jahat. Teorinya sih entitas tersebut adalah negara. Inilah alasan kenapa kita punya polisi.

Tapi di tataran negara, gak ada entitas yang lebih tinggi dari negara yang akan melindungi negara kita jika kita diserang negara lain. Itulah sebabnya, menurut profesor Mersheimer, jaman dulu (sekitar 80an akhir, 90an, 2000an) liberalisme dan demokrasi bisa maju ke mana-mana. Sebabnya adalah karena entitias no.1 itu adalah Amerika Serikat. Di jaman dulu, jaman yang disebut pak John sebagai ‘unipolar moment’, gak ada entitas yang lebih tinggi dari AS. semua orang takut sama AS. AS abis itu bikin NATO kan. Entitas inilah yang menjadi pelindung negara anggotanya. Polisi itu adalah AS.

Sekarang? AS melemah RELATIF terhadap negara lain. PDB AS dibanding global terus berkurang, tentu karena pertumbuhan ekonomi negara lain (Rusia dan terutana China) yang terus naik. Kemampuan manufaktur (yang menjadi proksi kemampuan bikin persenjataan) terus berkurang di AS. Unipolar ini sedikit demi sedikit terkikis, dan kita memasuki momen ‘multipolar’. Polisi dunia itu tidak lagi sekuat dulu. Di situasi seperti ini, mahzab realisme akan kembali mainstream.

Tentunya di ilmu ekonomi, pareto optimality sendiri kemudian dijabarkan lebih jauh kelemahannya dan kita terus menguatkan model yang ada di sini. Pareto optimal ini model yang sangat simpel dan cocok buat dijelaskan sebagai framework berpikir buat mahasiswa (mirip kayak simplifikasi beban di teknik sipil pas semester 1). Tapi kadang saya sering aja gitu ketemu orang yang masih pake ini buat bicara hal-hal serius. Jaman sekarang, masukin eksternalitas (dan assumption violation lain) ke dalam model udah bukan hal yang asing soalnya. Jika anda ekonom, maka hal ini harus selalu diingat!

2, dunia ini dijalankan bukan (hanya) oleh ekonom. Tentu saja akan banyak keputusan-keputusan politik yang mempertimbangkan hal-hal di luar efisiensi ekonomi. Jadi ya tidak perlu marah-marah jika gapermen melakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan efisiensi ekonomi karena ada tujuan lain yang mungkin lebih penting. Tapi emang aneh sih kalo ada pemimpin yang bilang dia mementingkan ekonomi tapi menelurkan kebijakan-kebijakan yang gak masuk akal secara ekonomi wkwkw.

Lho tumben ada tukang baso di depan. Gw beli baso dulu ya bye guys!

eh btw ini postingan part 2 tentang realism bisa klik di sini

Krisna Gupta
Krisna Gupta
Dosen

Dosen di Politeknik APP Jakarta. Juga mengajar di Universitas Indonesia. Mitra senior di Center for Indonesian Policy Studies. Fokus penelitian tentang dampak kebijakan perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor manufaktur.

comments powered by Disqus